Kota Tebing Tinggi
Lambang Kota Tebing Tinggi Motto: Esa Hilang Dua Terbilang |
|
Peta lokasi Kota Tebing Tinggi Koordinat: 30°9'3" - 30°4'50" Lintang Utara dan 99°4'1" - 99°0'0" Bujur Timur |
|
Provinsi | Sumatera Utara |
Pemerintahan | |
- Walikota | Ir. H. Umar Zunaidi Hasibuan |
- DAU | Rp. 368.586.756.000.-(2013)[1] |
Luas | 38,3 km2 |
Populasi | |
- Total | 134.548 jiwa (2005 Badan Pusat Statistik) |
- Kepadatan | 3.513 jiwa/km2 |
Demografi | |
- Suku bangsa | Melayu, Batak, Jawa, Tionghoa |
- Zona waktu | WIB |
Pembagian administratif | |
- Kecamatan | Padang Hilir, Padang Hulu, Rambutan, Tebing Tinggi Kota, dan Bajenis |
- Situs web | http://www.kotatebingtinggi.go.id |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Geografi
Menurut Data Badan Informasi dan Komunikasi Sumatera Utara, Kota
Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan kota dari 33
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan
(Ibu kota Provinsi Sumatera Utara) serta terletak pada lintas utama
Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah Sumatera
melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematangsiantar, Parapat,
Balige dan Siborong-borong.
[sunting] Batas wilayah
Utara | PTPN III Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai |
Selatan | PTPN IV Kebun Pabatu dan Perkebunan Paya Pinang, Kabupaten Serdang Bedagai |
Barat | PTPN III Kebun Gunung Pamela, Kabupaten Serdang Bedagai |
Timur | PT Socfindo Tanah Besi dan PTPN III Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai |
[sunting] Iklim
Tebing Tinggi beriklim tropis dataran rendah. Ketinggian 26 – 24
meter di atas permukaan laut dengan topografi mendatar dan bergelombang.
Temperatur udara di kota ini cukup panas yaitu berkisar 25° - 27 °C.
Sebagaimana kota di Sumatera Utara, curah hujan per tahun rata-rata
1.776 mm/tahun dengan kelembaban udara 80%-90%.
[sunting] Hidrologi
Di Tebing Tinggi terdapat empat sungai yang mengalir dari barat
menuju timur. Keempat sungai tersebut adalah Sungai
Padang, Sungai
Bahilang, Sungai
Kalembah, dan Sungai
Sibaran. Daerah sekitar Sungai Padang dan Bahilang merupakan wilayah
potensi banjir, yaitu Kelurahan Bandar Utama, Persiakan, Bandar Sono,
Mandailing, Bagelan, Rambung, Tambangan, Brohal dan Rantau Laban.
[sunting] Walikota Tebing Tinggi Dari Masa ke Masa
Periode | Nama Walikota | Keterangan |
---|---|---|
1946–1947 | Munar S Hanijoyo | |
1948–1950 | Tengku Hasyim | |
1950–1951 | Tengku Alamsyah | |
1951–1956 | Wan Umaruddin Barus | |
1956–1957 | OK Anwaruddin | |
1958–1967 | Kantor Tarigan | |
1967–1970 | Syamsul Sulaiman | |
1970–1974 | Sanggup Ketaren | |
1974–1980 | Drs H Amiruddin Lubis | |
1980–1985 | Drs H Amiruddin Lubis | |
1985–1990 | Drs Rupai Perangin-angin | |
1990–1995 | Hj Rohani Darus Daniel SH | Walikota Perempuan pertama di Indonesia |
1995–2000 | Hj Rohani Darus Daniel SH | Membawa Tebing Tinggi meraih Piala Adipura 3 kali |
2000–2005 | Ir Abdul Hafiz Hasibuan | H Amril Harahap sebagai wakil |
2005–2010 | Ir H Abdul Hafiz Hasibuan | H Syahril Hafzein (Wakil) - Pildaka langsung pertama rakyat Tebing Tinggi |
2010–2011 | Drs H Eddy Syofian Purba MAP | Penjabat Walikota |
2011-2011 | Drs H Hadi Winarno, MM | Plh Walikota pada saat pilkada ulang |
2011–2016 | Ir H Umar Zunaidi Hasibuan | Irham Taufik (Wakil) |
[sunting] Sejarah
[sunting] Kerajaan Padang
Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran sungai Padang dan sungai Bahilang itu mulai dihuni
sebagai tempat tinggal pada tahun 1864. Inilah pernyataan resmi pertama
kali yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota Tebing Tinggi pada
tahun 1987. Pernyataan ini terdapat dalam makalah berjudul “Kertas Kerja
Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya
Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi.” Makalah ini kemudian
dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota
Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.
Dalam makalah itu dipaparkan bagaimana perkembangan daerah ini pasca
tahun 1864. Dimana dalam tahun-tahun itu, berdasarkan penuturan lisan
yang sambung menyambung, seorang bangsawan dari Wilayah Bandar
Simalungun ( sekarang masuk wilayah Pagurawan )bernama Datuk Bandar
Kajum bersama pengikut setianya menyusuri sungai Padang untuk mencari
hunian baru, hingga kemudian mereka mendarat dan bermukim di sekitar
aliran sungai besar itu. Pemukiman itu bernama Kampung Tanjung Marulak –
sekarang Kelurahan Tanjung Marulak, Kec. Rambutan.
Namun kehidupan bangsawan dari Bandar ini tidaklah tenteram, karena
dia terus saja diburu oleh tentara kerajaan Raya. Maka, Datuk Bandar
kajum pun memindahkan pemukimannya ke suatu lokasi yang persis berada di
bibir sungai Padang. Pemukiman itu merupakan sebuah tebing yang tinggi.
Dia dan para pengikutnya mendirikan hunian di atas tebing yang tinggi
itu sembari memagarinya dengan kayu yang kokoh. Pemukiman Datuk Bandar
Kajum inilah yang sekarang berlokasi di Kelurahan Tebing Tinggi Lama,
Kec. Padang Hilir dan kini menjadi lokasi pemakaman keturunan Datuk
Bandar Kajum, kemudian yang diyakini sebagai cikal bakal nama Tebing
Tinggi.
Pada masa itu, tentara dari Kerajaan Raya suatu kali kembali
menyerang Kampung Tebing Tinggi untuk menangkap Datuk Bandar Kajum, tapi
karena tidak berada di tempat, Datuk Bandar Kajum yang bergelar Datuk
Punggawa ini selamat. Sedangkan keluarganya bersama pengikutnya
melarikan diri ke Perkebunan Rambutan yang saat itu di bawah kekuasaan
Kolonial Belanda. Lalu dibantu oleh Belanda, Datuk Bandar Kajum pun
mengadakan serangan balasan terhadap tentara Kerajaan Raya ini. Dalam
peperangan itu, dia, bersama pengikutnya berhasil mengalahkan penyerang.
Setelah suasana kembali aman, untuk tetap menjaga ketentraman daerah
itu, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan perjanjian dengan Belanda. Oleh
Belanda daerah kekuasaan Datuk Bandar Kajum ini dilebur menjadi wilayah
taklukan Kerajaan Deli. Penanda tanganan perjanjian itu, terang kertas
kerja tersebut, dilakukan Datuk Bandar Kajum dan Belanda di sebuah
sampan bernama “Sagur” di sekitar muara sungai Bahilang.
Adalah Datuk Idris Hood bersama Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar,
Amirullah, Kasmiran, Djunjung Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan dan OK
Siradjoel Abidin yang membuat kertas kerja itu dan berusaha menggali
historisitas berdirinya Kota Tebing Tinggi. Namun, sebagian besar tokoh
itu sudah wafat, sehingga kalangan generasi muda merasa kesulitan untuk
melacak akar historis daerah yang bergelar kota lemang itu. Salah satu
di antara tokoh itu yang masih hidup adalah Mangara Sirait, mantan
anggota DPRD Tebing Tinggi, yang kini bermukim di belakang LP Tebing
Tinggi.
Pertanyaan yang paling mendasar bagi kalangan generasi muda kota itu,
saat ini adalah, apa nama daerah hunian dan tempat tinggal di sepanjang
aliran sungai Padang dan sungai Bahilang itu sebelum nama ‘Tebing
Tinggi’ muncul dalam data sejarah?
“Daerah itu bernama Kerajaan Padang,” tegas Amiruddin Damanik, 91,
warga Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang
Bedagei, suatu kali ketika penulis berbincang-bincang dengan dia. Jauh
sebelum ada kampung Tebing Tinggi, ujarnya memulai cerita, sepanjang
aliran sungai Padang dari hulu hingga hilir, daerah itu merupakan
wilayah kekuasaan Kerajaan Padang.
Kerajaan ini dulunya merupakan daerah otonom di bawah Kerajaan Deli
yang berpusat di Deli Tua, kata Amiruddin Damanik yang merupakan mantan
penghulu pada masa penghujung berakhirnya kerajaan itu menjelang
kemerdekaan Republik Indonesia.
Pusat kerajaan ini, lanjut dia, berada di Kampung Bandar Sakti—sekarang
Kelurahan Bandar Sakti, Kecamatan Rambutan—yang merupakan pelabuhan
sungai dan menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan
lain. “Waktu itu sungai merupakan sarana transportasi utama, jadi wajar
kalau ibu kota Kerajaan Padang berada di tepian sungai Padang,” terang
laki-laki yang terlihat masih memiliki ingatan kuat meski pisiknya sudah
sepuh.
Pusat administrasi Kerajaan Padang ini berada di sebuah bangunan
bergaya arsitektur Eropah yang saat ini menjadi markas Koramil 013, di
Jalan KF Tandean. Bangunan itulah yang jadi saksi bisu keberadaan
Kerajaan Padang, kata laki-laki yang memiliki sepuluh anak dan puluhan
cucu serta cicit ini. Sedangkan istana raja lokasinya tidak berapa jauh
dari pusat administrasi kerajaan. “Seingat saya, dulu istana itu masih
ada di belakang panglong, bersisian dengan Jalan Dr. Kumpulan Pane dan
masih terlihat dari persimpangan Jalan KF Tandean. Tapi sekarang entah
ada lagi entah tidak,” tutur Amiruddin Damanik, yang mengaku sudah
belasan tahun tidak ke kota (Tebing Tinggi).
Historis Kerajaan Padang ini, lanjut dia, bisa dilacak juga melalui
cerita lisan yang sambung menyambung, bermula dari memerintahnya seorang
penguasa bernama Raja Syah Bokar. Bersama raja ini ada juga beberapa
pembantu raja yang dikenal cukup berpengaruh masa itu, mereka adalah
Panglima Daud berkedudukan sebagai panglima perang dan Orang Kaya Bakir
sebagai bendahara kerajaan.
Di bawah pengaruh raja ini, Kerajaan Padang memiliki daerah yang luas
terdiri dari puluhan kampung dan dipimpin kepala kampung masing-masing.
Tiap-tiap kampung merupakan daerah otonom tapi tunduk pada kekuasaan
raja Kerajaan Padang. Di sebelah utara, Kerajaan Padang berbatasan
dengan perkebunan Rambutan yang dikuasai Belanda.
Di sebelah selatan Kerajaan Padang memiliki kampung-kampung yang
menjadi batas wilayahnya dengan Kerajaan Raya, Simalungun. Kampung itu
adalah Huta Padang dan Bartong –saat ini berada di Kec.Sipispis,
Kabupaten Serdang Bedagei. Ke arah barat, kerajaan ini mencapai Kampung
Pertapaan –sekarang masuk Kec. Dolok Masihul, Sergai. Demikian pula ke
arah timur, kerajaan ini memiliki batas hingga ke Bandar
Khalifah—sekarang Kec. Bandar Khalifah, Sergai.
Kerajaan Padang masa itu dihuni penduduk dari multi etnis, baik etnis
lokal maupun dari mancanegara. Hingga kini bukti-bukti multi etnisitas
itu terlihat dari penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Tebing
Tinggi., seperti, Kampung Jawa, Kampung Begelen, Kampung Rao, Kampung Mandailing,
Kampung Tempel, Kampung Batak dan Kampung Keling. Penamaan kampung yang
terakhir ini berlokasi di pinggiran sungai Padang –saat ini terletak di
Kelurahan Tanjung Marulak—menginformasikan bahwa pada masa Kerajaan
Padang wilayah itu sudah di huni salah satu suku bangsa dari anak benua
India. Bukti arkeologis keberadaan etnis anak benua India itu
dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah perahu bergaya Hindu mengendap dari kedalaman sungai Padang di
Desa Kuta Baru sekira lima tahun lalu. Namun sayang, bangkai kapal itu
hancur karena tidak terawat.
Demikian pula dengan keberadaan etnis Tionghoa telah ada seiring
dengan perkembangan hubungan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. Etnis
Tionghoa kala itu, banyak menghuni pinggiran muara sungai Bahilang.
Kelompok mereka dipimpin seorang kapitan. “Hingga kini kalau saya tidak
salah kediaman kapitan Cina iu masih ada di Jalan Iskandar
Muda berhadapan dengan bekas bioskop
Metro,” tegas orang tua yang enggan di panggil kakek itu.
Di samping kedua etnis ini, orang-orang Belanda juga belakangan
menghuni Kerajaan Padang . Ini dibuktikan dengan adanya perkuburan
mereka yang disebut Kerkof (kuburan) di Kampung Bagelen –sekarang di
Jalan Cemara.
Beberapa kampung yang spesifik dari kegiatan penduduk kala itu juga
masih terabadikan hingga kini, misalnya Kampung
Bicara, Bandar Sono, Kampung Persiakan, Kampung Durian,
Kampung Jati, Kampung Sawo, Kampung Kurnia, Kampung Jeruk,
Kampung Semut,
Kampung Tambangan, Kampung Sigiling dan Kampung Badak Bejuang serta
beberapa kampung lainnya.
[sunting] Batas Kerajaan Padang
“Sebelum sampai Sipispis, ada satu kampung bernama Bartong, itulah
batas wilayah terjauh Kerajaan Padang,” tegas tokoh sepuh itu yang pernah
menjadi tahanan politik di awal Orde
Baru. Batas itu diperoleh Kerajaan Padang setelah memenangkan pe
perangan dengan Kerajaan Raya. “Perang itu
bernama perang Lopot-Lopot, artinya perang intip-mengintip,” jelas
penutur ini.
Asal terjadinya perang, urai Amiruddin, bermula dari seringnya muncul
gangguan yang kadang-kadang berakhir dengan pembunuhan dari orang-orang
Kerajaan Raya terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Kampung Bulian.
Akibatnya, karena ketakutan penduduk Kampung Bulian ini banyak yang
mengungsi hingga ke Bandar Sakti. Melihat keadaan ini, pasukan Kerajaan
Padang kemudian membuat sebuah jembatan di atas sungai Kelembah. Maksud
dibuatnya jembatan ini untuk mengontrol siapa saja orang-orang yang
keluar-masuk ke ibu kota kerajaan.
Ternyata, dibuatnya jembatan itu membuat Kerajaan Raya tidak senang,
sehingga mereka selalu saja mengganggu ketentraman warga di Kerajaan Padang. Menghadapi keadaan
tidak tentram itu, Raja Syah Bokar kemudian memerintahkan Panglima
Daud untuk mengusir para pengacau itu. Maka dalam pengusiran itulah,
Panglima Daud melakukan penaklukan terhadap beberapa kampung lainnya,
hingga kemudian panglima Kerajaan Padang ini menghentikan pengejaran di
Kampung Bartong. Lalu, kampung inilah yang dijadikan batas Kerajaan
Padang.
Usai peperangan, Kerajaan Padang harus menghadapi suatu masa
pancaroba dalam bentuk perebutan kekuasaan. Dalam suatu acara perburuan
di Bandar
Khalifah,
Raja Syah Bokar karena pengkhianatan panglimanya, mati terbunuh. Lalu,
sepeninggal sang raja, kekuasaan dikendalikan oleh OK Bakir.
Bendaharawan kerajaan ini menjalankan pemerintahan menunggu dua anak
Raja Syah Bokar yang bernama Tengku Alamsyah dan Tengku Hasyim
menamatkan sekolahnya di Batavia.
Dalam catatan penutur, di saat jabatan di pangku OK Bakir inilah
Kerajaan Padang kemudian takluk di bawah Kerajaan Deli yang otomatis
menjadi taklukan Kolonial Belanda.
Sebagai bukti ketundukan terhadap Kerajaan Deli, kerajaan induk ini
kemudian mengirim salah seorang petingginya menjadi pemangku raja di
Kerajaan Padang. Petinggi Kerajaan Deli itu bernama Tengku Jalal yang
kemudian menjabat sebagai raja menanti keturunan raja yang wafat pulang
dari tugas belajar.
Selesai menamatkan sekolah, kedua keturunan raja ini kemudian kembali
ke Kerajaan Padang untuk melanjutkan tampuk kekuasaan. Pemegang tampuk
kekuasaan pertama jatuh ke tangan anak tertua yakni Tengku Alamsyah.
Baru kemudian diserahkan kepada anak lainnya yakni Tengku Hasyim. Di
tangan Tengku Hasyim ini, gejolak menuntut kemerdekaan terhadap Kolonial Belanda
menggemuruh. Sehingga akhirnya seluruh wilayah Kerajaan Padang melebur menjadi Tebing Tinggi dengan
batas-batas yang ditentukan administrasi
Kolonial Belanda.
Batas-batas inilah yang hingga kini menjadi patok administrasi Kota Tebing
Tinggi.
Akan halnya Datuk Bandar Kajum, berdasarkan pada penuturan historis
lebih awal ini, diperkirakan sebagai salah seorang pemuka masyarakat di
Kerajaan Padang. Dia, mendapatkan kehormatan dari penguasa Kerajaan
Padang dengan gelar Datuk Punggawa karena kesertaannya dalam perang
menghadapi Kerajaan Raya. Datuk Bandar Kajum pun kemudian diberikan
tanah dan wewenang untuk membangun pemukiman yang kemudian disebut
Kampung Tebing Tinggi.
Lalu, dari pelacakan akar historis Kota Tebing Tinggi pada masa lalu,
setidaknya harapan masyarakat Kota Tebing Tinggi untuk melakukan
pemekaran wilayah, sebenarnya memiliki momentum historisitas yang bisa
jadi memiliki validitas kuat. Jika menggunakan data sejarah di
atas—meski merupakan data lisan—sebenarnya wilayah Kota Tebing Tinggi
sekarang ini lebih kecil dari wilayah Kerajaan Padang yang berpusat di
kota itu. Ada puluhan desa dan kampung di hinterland yang dulunya
merupakan wilayah Kerajaan Padang.
Namun karena keberadaan wilayah Tebing Tinggi ini hanya didasarkan
pada data Kolonial Belanda, keadaannya menjadi riskan. Kota Tebing
Tinggi sebagai ibu kota Kerajaan
Padang harus kehilangan puluhan kampung yang
dulunya merupakan bagian dari Kota Tebing Tinggi tempo doeloe itu.
Sekali lagi hal ini membuktikan, ternyata penjajahan Kolonial Belanda
telah merugikan Tebing Tinggi dalam soal administrasi kewilayahan. Sudah
saatnya memang kita menagih kembali daerah Tebing Tinggi yang hilang
berdasarkan wilayah Kerajaan Padang. Ayo bung, kita mekarkan Kota Tebing
Tinggi berdasarkan data historis itu.
[sunting] Penduduk
Sebagian besar penduduk Kota Tebing Tinggi, ditempati oleh Suku
Melayu 70%, Suku Jawa 15%, Batak 8%, Tionghoa dan lain-lain.
[sunting] Beberapa peristiwa penting
[sunting] Kerusuhan Mei 1998
Saat lahirnya Reformasi Indonesia
pada Mei 1998, Kota Tebing Tinggi juga tak luput dari kerusuhan
terhadap etnis Tionghoa.
Masyarakat yang saat itu tercekik ekonominya karena harga yang
membubung tinggi, beramai-ramai melakukan penjarahan toko-toko milik
etnis Tionghoa. Pertokoan Jalan Suprapto dan KH Dahlan tak luput dari
penjarahan. Beberapa kilang padi milik etnis Tionghoa juga dijarah. Dampaknya
seluruh pertokoan di seluruh kota tutup, bahkan selama tiga tahun sejak
penjarahan, kota Tebing Tinggi seperti lumpuh pada malam hari karena
tidak adanya toko yang berani buka pada malam hari.
[sunting] Banjir Besar 2001
Akhir 2001 banjir besar melanda hampir seluruh pesisir timur Sumatera Utara. Tebing Tinggi juga tak luput dari bencana
ini. Dua sungai besar yang membelah kota ini: Sungai Padang dan Sungai
Bahilang meluap. Selama tiga hari air merendam dan melumpuhkan aktivitas
kota. Beberapa kendaraan antar kota dari dan menuju Medan terjebak banjir dan terpaksa menginap di
jalanan kota Tebing Tinggi. Tidak ada korban jiwa dalam banjir ini,
namun kerugian materi tak terelakan.
[sunting] Pariwisata
[sunting] Tempat wisata
Bagian ini membutuhkan pengembangan |
Tempat wisata di Kota Tebing Tinggi belum banyak tergali. Sebagai
wilayah bekas Kerajaan Melayu Padang, hingga kini masih berdiri bangunan
bekas Istana
Kerajaan
Padang di Jl. KF Tandean, Bulian. Istana ini
masih bertahan walau bukan bahagian utuh lagi. Lokasi Istana yang menuju
Pantai
Keladi
ini, sekarang diurus oleh waris kerajaan dari turunan Tengku Irwan
Hasyim(Tengku Irwan Hasyim adalah Putra dari Tengku Hasyim, beristrikan
Tengku Ina Nazli, walau beliau juga pernah beristrikan seorang Swedia).
Di sisi kiri Istana terdapat Kompleks Pusara
Bangsawan Padang.
Masih terdapat beberapa rumah melayu lama di beberapa tempat di Kota
Tebing Tinggi, seperti di daerah Bulian Ujung; sebuah Rumah
berornamen melayu bekas kediaman Tengku Tokoh.
Di Jl. Syech Baringin, terdapat Makam Tuan Syech Baringin, seorang Sufi yang
disegani di wilayah ini pada masanya. Di kompleks makam Sang
Sufi masih berdiri Bekas rumah kediamannya yang mirip Rumah Gadang Sumatera Barat. Sayang, Kondisinya sangat memprihatinkan
Di Tebing Tinggi ada beberapa sungai yang berpantai pasir. Walau
tanpa pengembangan lokasi-lokasi ini sering dijadikan tempat wisata
lokal bagi masyarakat tempatan.
Di wilayah Sungai Sigiling dan Batu Ampat, ada terdapat kolam
pemancingan dan kolam rekreasi yang dikelola atas swadaya masyarakat
sendiri.
Di kawasan Kota Bayu, lebih kurang 4 kilometer dari pusat Kota Tebing
Tinggi, sejak April 2012 terdapat kolam renang Bayu Lagoon. Menyediakan
fasilitas tiga kolam renang dimana salah satu kolam untuk anak-anak
dilengkapi dengan papan seluncur. Tempat rekreasi ini juga dilengkapi
musholla, lahan parkir, ATM, dan rumah makan.
Pada Sabtu
malam dan Rabu
malam, pemuda pemudi banyak juga menghabiskan paruh malam di sekitar Lapangan Merdeka Jl. Sutomo yang dikenal dengan Lapangan Sri Mersing.
Ada sebuah keunikan pada malam-malam Hari Raya, Budaya
berkeliling kota dengan beca bisa kita saksikan sebagai
sebuah wisata muatan lokal. Sebuah
beca bisa berisi 8 hingga 10 penumpang.
Hutan
beca sepanjang malam hari raya mempunyai kekhasan tersendiri. Antara
penumpang beca satu dengan penumpang beca yang lain dibenarkan saling
berlempar-lemparan air atau menembak dengan pistol
air; tidak ada kemarahan. Entah kapan budaya ini bermulai, tetapi
kebiasaan ini berlangsung setiap tahunnya.
[sunting] Bioskop
Kota Tebing Tinggi pernah tercatat sebagai kota kecil dengan jumlah
bioskop sangat banyak. Di era 1980, kota ini memiliki bioskop Prince Jl
KF Tandean, Bioskop Ria Jl Sudirman, Bioskop Metro Jl Iskandarmuda dan
Bioskop Deli di kawasan pajak mini. Memasuki tahun 1990-an, penggemar
film di Kota Lemang makin terhibur dengan kehadiran Studio 21 yang
memperkenalkan bioskop modern dengan empat studio yang kala itu populer
disebut bioskop kembar.
Makin maraknya pembajakan VCD, DVD dan kerusuhan Mei 1998 akhirnya
membuat bisnis hiburan mati satu persatu. Bioskop Prince, Golden, Studio
21, dan Ria saat ini sudah jadi pertokoan. Sementara Deli Theatre juga
berubah menjadi ruko sarang burung walet.
Selain Studio 21, dari beberapa bioskop yang pernah ada di tebing
Tinggi, Deli Theatre merupakan yang paling modern. Karena dilengkapi
dengan pasar swalayan, dan arena permainan anak yang tersebar di
bangunan berlantai 3.
[sunting] Makanan khas
[sunting] Lemang
Makanan dari kota Tebing Tinggi adalah Lemang.
Lemang merupakan makanan dari beras ketan yang dimasak dalam seruas
bambu, setelah sebelumnya digulung dengan selembar daun pisang.
Gulungan daun bambu
berisi tepung beras bercampur santan kelapa ini
kemudian dimasukkan ke dalam seruas bambu lalu dibakar sampai matang di
atas tungku panjang. Lemang lebih nikmat disantap hangat-hangat, dengan
campuran selai bahkan durian.
Pusat penjualan lemang di Tebing Tinggi adalah di seruas jalan
bernama Jl. KH Dahlan berseberangan dengan Masjid
Raya Tebing Tinggi, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Jalan Tjong Afie.
Lemang yang paling terkenal adalah Lemang Batok.
Lemang produksi kota Tebing Tinggi sangat terkenal lezat
dan lemak. Karena kelezatannya itulah kota Tebing Tinggi juga dijuluki
sebagai Kota Lemang.
[sunting] Kue Kacang
Sejak sekitar tahun 2005 di Tebing Tinggi muncul makanan baru, yakni
Kue Kacang
(di kota lain disebut Bakpia). Kue kacang yang terkenal adalah kue
kacang bermerek Rajawali, Beo dan Garuda.
Kue kacang banyak dijual di terminal Pajak (Pasar) Mini
Tebing Tinggi. Karena kelezatannya dan harga yang ekonomis, Kue Kacang
mulai menjadi ikon
baru kuliner Tebing
Tinggi selain Lemang.
[sunting] Halua
Halua merupakan manisan khas melayu.
Halua bisa terbuat dari Buah Pepaya
yang ditebuk atau dibuat anyaman yang disebut Buku Bemban, Pucuk Pohon
Pepaya, Buah Paria,
cabai,
Meregat, Gelugur dan
berbagai bahan lainnya. Meskipun tidak menjadi produksi bisnis, Halua
akan tetap ada dalam upacara adat maupun lebaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar